Tuesday, 19 January 2016

Tradisi Yang Ada DITanah jawa Dan Madura




Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul Nya.
Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta Berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri. Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat.
Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.
Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhan dan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "Gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali.
Di Madura acara ini dikatakan “MULUDHEN”. Yang mana dalam acara itu biasanya diisi dengan pembacaan barzanji dan sedikit selingan ceramah keagamaan yang menceritakan tentang akhlaq Sang Nabi pada masanya untuk dijadikan sebagai suri tauladan demi kehidupan saat ini.
Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya para tokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidak ketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.

     Kesimpulan
Dalam pemaparan diatas penulis tarik kesimpulan bahwa hubungan budaya jawa dan islam dalam aspek kepercayaan dan ritual menunjukkan secara jelas bahwa memang telah terjadi dalam kehidupan keberagamaan orang jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai islam dengan budaya jawa pra-islam. Upaya itu telah dilakukan sejak islam mulai disebarkan oleh para muballigh yang tergabung dalam Walisongo dan dilanjutkan oleh para pujangga kraton, serta dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari orang jawa islam.
Upaya itu masih terus berproses hingga saat sekarang ini. Sebagian dari nilai-nilai islam itu telah menjadi bagian dari budaya jawa, kendatipun di sana-sini warisan nilai-nilai budaya pra islam masih tampak meski dalam wadah yang kelihatannya islam


Khitanan
infogendru.blogsport.com

Tradisi khitan atau di Indonesia dikenal dengan istilah sunat dianggap sebagai tanda atau langkah menuju kedewasaan pada laki-laki. Sunat atau khitan yaitu tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Khitan diwajibkan pada laki-laki Islam dan Yahudi bahkan sebagian mayoritas penduduk di Korea Selatan, Amerika, dan Filipina juga melakukan tindakan ini.
Di beberapa negara, khitan masih menuai kontroversi. Perhimpunan kesehatan di AS, Australia, Kanada, serta negara-negara di Eropa sangat tidak merekomendasikan sunat pada bayi laki-laki. Sebagian orang tua di AS memilih khitan sebagai alasan sosial budaya.
Namun, kini mereka mulai menyadari khitan juga berguna bagi kesehatan. Berikut beberapa fakta mengenai khitan yang mungkin belum Anda ketahui:
1. Khitan dapat menyembuhkan kelumpuhan
Pada akhir 1800-an, para dokter menggunakan metode khitan untuk mengobati berbagai macam penyakit mulai dari demam, keracunan hingga kelumpuhan. Dalam jurnal Transactions of the American Medical Association, seorang profesor bedah ortopedi di Rumah Sakit Bellevue Medical College, Lewis Sayre, menulis kisah anak usia lima tahun yang mengalami kesulitan berjalan karena lututnya bertekuk dan lumpuh.

Saat proses pemeriksaan ternyata, Sayre menemukan jika kulup anak tersebut telah terinfeksi sehingga menyebakan yang rasa sakit yang teramat sangat. Sayre pun mengambil tindakan khitan terhadap anak itu pada hari berikutnya. Dan benar saja dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, ia dapat berjalan lagi. Terkadang kondisi kulup terjebak di atas kepala penis, kondisi ini disebut phimosis. Sunat menjadi salah satu cara untuk melebarkan kulup.
2. Kulup Lebih Komplek Daripada Perkiraan Anda
Kulup bukanlah hanya sekedar kulit. Bagian ini seperti kelopak mata bagi alat kelamin pria. Di dalam bagian kulup terdapat membran mukosa (selaput lendir) seperti di bagian dalam kelopak mata atau bagian dalam mulut. Ini merupakan bagian lembab dimana bertanggung jawab atas berbagai infeksi menular seksual. Selain itu kulup juga mengandung sejumlah sel langerhans yakni semacam sel kekebalan tubuh yang biasanya diserang oleh infeksi HIV.

3. Sunat Pertama Kali Dilakukan di Mesir
Di tanah Mesir, sekitar 2400 SM, proses khitan telah dilakukan. Ini terungkap dari sebuah relief di tanah pemakaman kuno Saqqara yang menggambarkan serangkaian adegan medis, termasuk sunat batu-pisau dan seorang ahli bedah.

Khitan di Mesir Kuno tidak dilakukan ketika masih bayi melainkan pada masa remaja yang menandai sebuah transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Orang-orang Yunani menganggap tradisi orang Mediterania ini agak aneh. Hingga pada abad ke-V Heredotus mengemukakan pendapatnya di dalam karyanya yang berjudul "The History of Herodotus."
"Mereka melaksanakan khitan demi kebersihan. Dengan mempertimbangkan lebih baik menjadi bersih daripada sekedar indah," tulisnya.


Selapan
Dalam tradisi Jawa dikenal acara SELAPANAN atau selamatan bayi pada usia yang ke 35 (selapan) hari. Pada hari ke 35 bayi ulang weton yang pertama. Adapun selamatan menggunakan ubo rampe atau syarat-syarat perlengkapannya yang terdiri sebagai berikut :
  1. Tumpeng weton
  2. Sayur 7 macam bebas memilih apa saja namun harus ada kangkung dan kacang panjangnya. Semua sayur direbus, dan boleh dipotong-potong KECUALI ; kangkung dan kacang panjang
  3. Telor ayam direbus sebanyak 7 atau 11 atau 17 butir. Dikupas kulitnya, lalu disajikan utuh atau dibelah dua atau empat tidak masalah
  4. Cabai, bawang merah
  5. Bumbu gudangan/urap TIDAK PEDAS, bahannya ; kelapa agak muda (kemelas) diparut disertai bumbu-bumbu ; sereh, daun jeruk purut, tumbar, salam, laos, gula jawa, garam, bawang merah (agak banyak), bawang putih (sedikit).
  6. Kalo/saringan santan dari bambu (lihat dalam gambar)
  7. Buah-buahan sebanyak 7 macam ; harus dengan pisang raja
  8. Kembang setaman
  9. Bubur 7 rupa ; bahan dasar bubur putih atau gurih (santan dan garam) dan bubur merah atau bubur manis (ditambah gula jawa dan garam secukupnya)
  10. Kembang setaman (mawar putih dan merah, kanthil, melati, kenanga).
11.  Selamatan weton bayi (selapanan/35 hari) ini berbeda dengan selamatan weton untuk yang sudah dewasa yakni; bumbu gudangan tidak pedas, tidak menggunakan jajan pasar, dan kacang tanah serta ketela.
12.  Tumpeng weton dan seluruh uborampenya hendaknya diletakkan di kamar/ di atas tempat tidur yg dibancaki weton.  Setelah itu di haturkan/didoakan, barulah boleh dimakan bersama-sama.
13.  Tatacara menghaturkan atau doanya :
14.  Sebelum dimakan hendaknya dihaturkan terlebih dahulu. Pada intinya bancakan dihaturkan untuk keselamatan si jabang bayi, mohon keselamatan kepada Tuhan YME, dan kepada yang “momong“, serta kepada para leluhur yang menurunkan agar selalu membimbing dan mengasuh. 
15.  Bancakan hendaknya dimakan sebanyak minimal 7 orang, jika mungkin semakin banyak akan lebih baik lagi misalnya 11 orang atau 17 orang. Jumlah 7 artinya pitu, yakni agar mendapatkan pitulungan atau pertolongan dari Tuhan YME. Jumlah 11 artinya sewelas, yakni agar mendapatkan kawelasan atau belas kasih Tuhan YME. Jumlah 17 artinya pitulas, yakni agar mendapatkan pitulungan dan kawelasan dari Tuhan YME.


Bersih Desa
Sebagian orang Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya sampai sekarang masih melaksanakan adat kebiasaan yang dinamakan Bersih Desa. Ada pula yang menamakan Mejemukan.

Tradisi Bersih Desa ini dilaksanakan satu kali dalam setahun, yaitu pada waktu penduduk tani selesai melaksanakan panen padi raya secara serentak. Bersih Desa atau Mejemukan oleh paa penduduk tani dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Dewi Sri (Dewi Padi) sebagai penjaga keamanan para tani, sehingga mereka berhasil panen padi yang telah ditanamnya, disamping itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengabulkan panan hasil tanaman padi tersebut.

Kegiatan dalam rangka Bersih Desa
Dalam acara adat Bersih Desa para tani mengadakan beberapa kegiatan:
  1. Mengadakan penyimpanan padi secara rapi ke dalam suatu tempat yang aman, yang dinamakan lumbung padi. Lumbung tersebut selain diisi padi hasil panen, juga beberapa perlengkapan sesaji yang ditaruh di atas tumpukan padi di daam lumbung tersebut. Alat perlengkapan sesaji tersebut antara lain air putih dalam kendi yang terbuat dari tanah, ini mempunyai maksud selain untuk memberikan minuman kepada Dewi Sri pada suatu saat jika berkunjung, juga berarti membersihkan/keweningan agar seseorang berbuat bersih; daun keluwih, mengandung maksud biar petani tersebut setiap panen padi diberi kelebihan (luwih); daun sirih dimaksudkan untuk menyirih jika Dewi Sri berkunjung; dupa atau kemenyan, sebagai perlengkapan sesaji. Dengan sesajian tersebut para petani bermaksud selain menghargai dan menghormati Dewi Sri juga agar Dewi Sri (Dewi Padi) ini dalam menjaga keselamatan para petani terutama dalam pelaksanaan menanam padi, merawat dan memanen padi dapat berhasil dengan baik.
  2. Kegiatan pembersihan. Biasanya dilakukan dengan membersihkan kuburan, halaman, masjid, jalan-jalan atau gang-gang yang jarang dilewati orang. Hal ini dimaksudkan agar keadaan kampung atau desa nampak bersih. Kegiatan pembersihan ini dilakukan secara bersama-sama dengan gotongroyong/kerja bakti.
  3. Mengadakan acara masak-memasak dan saling kunjung mengunjungi. Dalam acara ini dilaksanakan apa yang disebut “Munjung” (pemberian dari yang muda ke yang tua) dan “Weweh” yang (diberikan oleh yang tua kepada yang muda), atau kepada kerabat dan kenalan dekat dengan dasar kasih sayang.
  4. Mengadakan kenduri bersama oleh seluruh warga desa, yang biasanya diadakan bersama-sama di suatu halaman masjid atau halaman/lapangan yang luas tertentu. Para penduduk membawa perlengkapan kenduri masing-masing berupa nasi dan lauk yang ditempatkan pada baskom atau penampan. Selanjutnya diadakan doa bersama yang dipimpin oleh seorang yang disebut “Modin”. Dalam acara ini diadakan pemberian nasi kepada fakir miskin dan para peminta-minta.
  5. Mengadakan hiburan. Ini adalah puncak acara Bersih Desa/Mejemukan, biasanya dilaksanakan malam hari, antara lain mengadakan pergelaran wayang kulit, ketoprak dan uyon-uyon. Semua ini untuk memberikan hiburan pada masyarakat agar para penduduk gembira setelah kerja membanting tulang di sawah. Ini juga sebagai tanda telah menikmati keberhasilan para tani dalam menggarap sawah.


Mudun lemah
TRADISI Tedhak Siten atau orang jawa menyebut tradisi  ( mudun lemah ) turun tanah. Tedak siten (dari kata Jawa= tedak = cedhak ( men-dekat ). Siten = siti = lemah (jawa = tanah ) .Ketika anak menginjak 8 bulan ( pitung lapan ), tradisi ini tidak hanya di Jawa, didaerah lain di Indonesia juga ada tradisi seperti ini. tradisi turun tanah menjadi symbol bagi kalangan masyarakat jawa mengisyratakan dalam usia tersebut seorang anak sudah saatnya untuk kembali ketanah. Menginjakan kakinya ke tanah sebagai upaya pendekatan kepada dirinya sendiri yang berunsurkan tanah. Dan sekaligus merupakan usia anak untuk melatih dirinya untuk berjalan di tanah yang pertama kali.
 
 Rangkaian tradsisi ini memiliki keunikan dan makna tersendiri bagi masyarakat jawa. Bahkan ada pesan moral yang ingin disampaikan, salah satunya yakni sang bayi disuruh memilih beberapa pilihan dari buku, kitab, sisir, pulpen dll. Dan pilihan pertama itulah yang akan menentukan pilihan terakhir yang memiliki urutan atau tahapan masing-masing.

Beberapa perlengkapan prosesi disebut Uba Rampen

Uba rampen yang diperlukan dalam upacara Tedhak Siten ini yaitu, 
Banyu gege (air yang disimpan dlm tempayan/bokor selama satu malam & pagi harinya dihangatkan dengan sinar matahari), ayam panggang, pisang raja (melambangkan harapan agar si anak di masa depan bisa hidup sejahtera dan mulia, 
 Juadah (jadah) warna warni (7 warna: putih, merah, hijau, kuning, biru, cokelat, merah muda/ungu), tangga yang terbuat dari tebu ireng (tebu arjuna), kurungan (biasanya berbentuk seperti kurungan ayam) yang diisi dengan barang/benda (misalnya: alat tulis, mainan dalam berbagai bentuk dan jenis) sebagai lambang/tanda untuk masa depan anak,
Benang lawe, dan  udhek-udhek (yang terdiri berbagai jenis biji-bijian, uang logam, & beras kuning).


Prosesinya :
pertama, memandikan bayi. Bahwa bayi dalam keadaan suci seperti pertma kali ia terlahir dalam keadaan fitrah dan kelak ketika meninggalkan dunia ini sang anak juga diharapkan kembali kedalam fitrahnya.

Kedua, menginjak bubur atau orang jawa menyebut bubur tersebut dengan nama bubur chetil yakni bubur merah manis dengan bulatan dari tepung beras (bulatan itulah yang disebut chetil). Memiliki makna bahwa bayi akan menjadi kuat dan kokoh untuk menapaki kehidupannya

Ketiga, menyebar uang orang jawa menyebutnya udhek-udhek duit yang berisi beras kuning dan bunga artinya menyebar yakni melemparkannya yang disana banyak orang yang berkumpul untuk mengambil uangnya sebagai hak miliknya. Menunjukan bahwa sang anak diharapkan kelak menjadi orang yang dermawan dan dikaruniai banyak rizki dan saling berbagi kepada siapa saja yang membutuhkan.

Keempat, memilih barang, ada beberapa pilihan disinilah kelak anak akan menapaki kehidupannya dalam memilih profesi dan berantai dalam memilihnya. 

Tradisi ini digelar sebagai bentuk harapan dan doa agar anak mampu menjadi orang yang berguana bagi agama, Negara dan masyarakat. Sebagai sebuah symbol atas karunia yang diberikan kepada keluarga. Didalamnya mengisyaratkan berbagai macam benda seperti berdoa, makanan, uang, barang, bunga dll. Ini menunjukan hubungan tiga dimensi antara manusia, tuhan dan alam. Dan kesemuanya berjalan dengan harmonis.

No comments:

Post a Comment