Thursday, 31 December 2015

Cerita Rakyat



 


Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal  dunia.Bawanputih sangat berdukah begitu pulah ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.

                Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

                Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

                Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

                Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.

“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

Cerita Kerajaan Aceh



 KERAJAAN ACEH

Sistem kepecayaan seperti ini sudah berlangsung cukup lama puluhan abad lamanya. Seperti yang di kemukakan oleh seorang ilmuan Inggris dalam teorinya bahwa “asul mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa, kemudian mereka memahami adanya mimpi dan kematian.” (Edwar Burnet Taylor, 1832-1917).
Kumpulan masyarakat primitif Aceh dahulu kala sudah terbentuk dengan sendirinya secara alami, namun pada saat itu mereka sudah mengenal konsep penyembahan. PenTuhanan yang di lakukan oleh masyararakat Aceh zaman dulu kala masih sangat sederhana, dimana bentuk Tuhannya itu masih beraneka ragam, belum sistematis dan masih belum seragam. Dalam kondisi seperti itu mereka menemukan cara penyembahan dan pengabdian yang di kembangkan berdasarkan tingkat kecerdasan masyarakatnya, lalu kemudian mereka mewariskan system kepercayaan model sederhana tersebut cukup lama dalam kurun waktu berabab-abad lamanya hingga kemudian model atau system kepercayaan yang baru mereka kenal, yaitu pada tingkat yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya dan system kepercayaan yang baru ini lebih sistematis dan sudah mulai manganutnya secara massal, dan Tuhannya mereka itu sudah memiliki nama yang seragam, yaitu penerimaah agama Hindu dan sebagai kepercayaan yang baru.
Benteng Indra Patra
Perkembangan ketingkat ke berikutnya ke system kepercayaan baru Hindu ini, menunjukan bahwa Aceh pada saat itu telah mengalami kontak budaya, baik yang terjadi antara sesama masyarakat Nusantara ataupun hal itu juga datang langsung dari luar atau bisa di katakan bahwa pengaruh perubahan itu datang langsung dari India. Berdasarkan apa yang di kemukan oleh Joesoef Sou’yb (1983) bahwa Agama Brahma atau Hindu itu lahir di negeri India 2000 tahun SM, dan agama ini telah berusia lebih kurang 4000 tahun bersama manusia seluruh dunia. Dan penganut yang terbesarnya berada di Asia Tengah dan Selatan. Sebagai perbandingan saja, bahwa Agama Yahudi (musa) di kenal oleh manusia semenjak 1200 tahun SM. Jadi manusia takala itu sudah di temani oleh agama Hindu terlebih dahulu, atau bisa di katakan Agama Hindu ini adalah salah satu Agama tertua di dunia dalam kategori agama berbentuk yang sistemastis.
Sebelum masyarakat Aceh menganut Agama Brahma ini, di kepulau Nusantara ini adalah di tanah Jawa Agama Hindu berkembang pesat hinga menciptakan kerajaan besar yang kuat, seperti kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pejajaran di Jawa bagian Barat. Dalam Agama Hindu, manusia di posisikan ke beberapa tingkat golongan atau kasta-kasta di antaranya; pertama kasta Brahma, yaitu kaum agamawan (pendeta-pendeta), kedua kasta Syatria yaitu kaum bangsawan atau para raja-raja, ketiga kasta Waisya yaitu kasta kaum saudagar, keempat kasta Sudra yaitu kasta orang kebanyakan pada umumnya (rakyat jelata), kelima kasta Paria yaitu golongan yang di anggap rendah sekali atau sampah dan tidak ada harganya sebagai manusia, dan biasanya kasta ini di tujukan untuk golongan dari bangsa yang di taklukan oleh kekuasaan kerajaan Jawa terhadap beberapa daerah-daerah di Nusantara, (penaklukan-ekspansi). Masyarakat Hindu di luar Jawa awalnya mereka adalah manusia yang tidak berharga di mata penguasa Jawa karena mereka adalah masyarakat taklukan Majapahit. Baru kemudian setelah sekian jangka waktu yang cukup lama dari kasta yang hina ini naik ketingkat kasta atas.
Keuasaan Hindu yang di bawah naungan kerajaan Raja Majapahit mulai menujukan kehebatanya yang kuat itu, kekuatan itu menyatu bersatu dalam tiga komponen menjadi satu kekuatan, diataranya “agama-bangsa Jawa-kerajaan” menjelma menjadi kekuatan politik yang kokoh. Sehingga hampir seluruh wilaya kepulauan Nusantara di kuasainya melalui cara ekspansi. Tak luput juga Aceh pada tahun 1350 pernah ditaklukan dan di kuasainya, pada saat itu kerajaan Samudra Pasai (Aceh) di gempur oleh kekuatan militer Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, dan Majapahit menduduki Samudra Pasai selama 4 tahun.
Pengaruh Hinduisme kedalam budaya Aceh memang sangat tranparan dan terasa kuat. Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India (Cut Nyak Kusmiati 1981). Menurut para kalangan ahli sejarah, kedatangan orang-orang India ke Aceh diperkirakan pada awal abad Masehi. Sedangkan pendapat S.M.Amin yang menyatakan bahwa pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India masuk diperkirakan 2.500 SM. Dan saat itu orang-orang India telah banyak membuat perkampungan di Aceh (S.M. Amin 1956). Orang Hindu datang dari Hindia menepati sebelah barat laut pulau Sumatra, dan mereka tertarik dengan rempah-rempah yang ada di Nusantara. Sambil berniaga orang Hindu itu, mengembangkan agama dan kebudayaan mereka di bumi Nusantara, dan mereka bergaul serta kawin dengan masyarakat setempat, sehingga pada abad ke 2 Masehi telah banyak orang Hindu yang menetap di Nusantara. (Ismail Jakup).
Sekitar tahun 500, di Aceh telah berdiri satu kerajaan yang dikenal sampai ke tingkat internasional yang bernama Kerajaan Poli, kerajaan ini merupakan jelmaan dari eksistensi kekuasaan hindu, dan mempunyai 136 perkampungan. Dalam tahun 518, Kerajaan Poli ini, sudah mengirimkan utusannya ke Tiongkok yang waktu itu di bawah kekuasaan Dinasti Liang. Kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli yang wilayah kekuasaannya meliputi hingga ke Aceh Besar. Pengaruh Kerajaan Poli ini masih bisa kita temukan dari nama-nama tempat di Aceh yang banyak sekali memakai istilah Hindu, seperti Indrapuri, Indraputra, Gandapura, Kleng, Raja Dagang, dan lain sebaginya. Selain Kerajaan Poli di Sigli (Aceh) ada beberapa kerajaan lagi yang menganut agama Hindu, diantaranya kerajaan Hindu Indrapura, Kerajaan Ta Shi atau Tajik, dan kemudiannya Kerajaan Tajik ini bersatu dengan Kerajaan Peureulak dengan memakai nama Ta Jihan.
Peradaban Hindu di Aceh menurut Junus Djamil dalam bukunya, menjelaskan bahwa telah berdiri sebuah kerajaan di Peureulak sebelum kedatangan kebudayaan Islam, Peureulak telah lama berdiri dan raja-raja yang memerintah negeri itu berasal dari turunan raja-raja Negeri Siam (Syahir Nuwi). Kerajaan Peureulak yang terletak di Aceh Timur (sekarang) semula berada dibawah kendali Kerajaan Sriwijaya (Palembang). Di mana setelah kondisi politik dan pertahanan dalam negeri Sriwijaya melemah akibat serangan dari Kerajaan Choli (India) dan juga Kerajaan Majapahit (Jawa), maka Kerajaan Peureulak melepaskan diri dari kungkungan Kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Kerajaan Peureulak, jauh sebelum kedatangan Islam telah menjadi pusat perdagangan internasional dengan pedagang-pedagang dari kerajaan-kerajaan lain di dunia. Mereka datang dari berbagai penjuru Negeri, seperti dari Arab, India, Cina, Jawa, Malaka, Persia dan sebagainya. Komoditas perdagangan yang ramai diperjualbelikan pada saat itu adalah kayu manis, cengkeh, lada, pala, bunga pala, kayu gaharu, pakaian India, dan porselein Cina. Kayu manis diimpor dari Ceylon dan Jawa, rempah-rempah diimpor dari Malaka, dan kayu gaharu diimpor dari Timor. Sedangkan Kerajaan Peureulak sendiri adalah penghasil komoditi lada sebagai andalannya. Hingga tidak heran kita bisa menemukan dalam pepatah Aceh hingga sekrang meyebutkan ’’watee katrok kapai barou pula lada,‘’ (ketika kapal muatan barang datang pada saat itu pula baru lada di tanam) zaman dahulukala pribahasa ini di ungkapkan untuk mereka yang tidak siap akan situasi perkembangan bisnis karena mereka lalai kemudian rejekipun tidak didapatkan.
Karena jarak tempuh yang begitu lama dan jauh sampai berbulan-bulan dari negeri-negeri belahan dunia lain untuk singgah ke Aceh, dan sebaliknya dari Aceh ke negeri Asal para Saudagar-saudagar ini. Apalagi kodisi untuk berlayar kapal memerlukan ketepatan angin yang pas, hal ini sering menjadi alasan kenapa para Saudagar ini memilih untuk membuka kantor perwakilan di daerah Aceh sebagai persinggahan. Terkadang banyak di antara mereka tidak mau pulang ke negeri asalnya, dan lebih memilih menjadi agen-agen dangang untuk barang dari asal mereka dan merekapun tinggal menetap di Aceh serta berasimilasi dengan penduduk pribumi, (perkawinan silang). Kemudian kondisi seperti ini bagi saudagar-saudagar Arab mengunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan agama Islam, hingga kumudian Agama Islam bisa mengalahkan dominasi Agama Hindu di Aceh dan akhirnya berdirilah kesultanan Islam di Peureulak.
Di Bandar Peureulak mereka itu (orang Arab) pulang kembali ke negerinya, dan tidak lama kemudian datang saudagar-saudagar Persi (Isfhan) dan Muslim India dari Malabari dan dari Gujarat. Sejak dari masa itulah mereka terus datang ke Bandar Peureulak hingga banyak orang Peureulak masuk Islam. Beberapa lama kemudian daripada itu Meurah (raja) Peureulak dengan seluruh keluarga istana akhirnya masuk agama Islam juga. Yang sebelumnya kerajaan Peureulak adalah kerajaan Hindu yang berdasarkan pemberian gelar meurah pada para penguasa kerajaan, kemudian berubah menjadi kerajaan Islam. Setelah menjadi kerajaan Islam banyak orang-orang Arab Parsi dan Muslim India dari Malabari dan Gujarat bermukim di Bandar Peureulak.
Dalam proses Islamisasi rakyat Peureulak Aceh, terjadi pada tahun 820 M. dan pada tahun 840 M berdirilah kesultanan Islam Peureulak dengan diangkatnya Sultan Maulana Syaid Abdul Aziz sebagai pemimpinnya. Pada tahun 1042 berdirilah kerajaan Islam di Pasai. Pada saat itu (1042 M) kerjaan Samudra kedatangan seorang pembaharu Islam, ia benama Meurah Khair, sang pembaharu ini datang ke negeri Tanoh Data (sekarang sekitar Cot Girek) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke pada raja Samudra. Meurah Khair adalah berasal dari keluarga Sultan Mahmud Pereulak. Ia datang ke Negeri Tanoh Data tidak hanya untuk mengembangkan Islam, akan tetapi ia juga mempunyai target untuk membangun kerajaan Islam Samudra Pasai. Tujuan ini kemudian tercapai dan ia menjadi raja yang pertama, dengan gelar Maharaja Mahdud Syah. Selain gelar ini yang ia sandang, ia juga memiliki nama lokal yaitu Meurah Giri. Periode kekuasaanya adalah 1042-1078 M.
Sultan Ali Mughayat Syah.
Pada tahun 1507 berdirilah kerajaan Aceh Darussalam yang di pimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Pada tahun 1511 M adalah tahun dimana kerjaan-kerajaan Islam yang berada di Aceh terintegrasi ke dalam Kekerajaan Aceh Darussalam. Deklarasi itegrasi ini terjadi pada tanggal 20 februari 1511 M, dan menjadi Kerajaan Aceh Raya Darussalam. Dialah Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan yang pertama yang memimpin Kerajaan Aceh Raya Darussalam selama 1511-1530 M. Kerajaan Aceh Raya Darussalam dalam proses perjalan waktu telah dipimpin oleh para Sultan-sultan sebanyak 28 orang, mulai dari tahun 1511 sampai dengan 1937 M. dan sultan yang terakhir yang berkuasa adalah di Kerajaan Aceh Raya Darussalam adalah Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1874-1937 M).
Hal lain yang sangat penting juga adalah peran Ulama sebagai kunci Islam bisa meluas keseluruh Aceh, bahkan dari Pasai-lah Islam di kaji oleh banyak kalangan kemudian Islam dari Pasai Menyebar kawasan Asia Tenggara. Sehingga tidak heran bahwa pada masa era emasnya itu Kerajaan Samudra Pasai telah di jadikan mercusuar ilmu pengetahuan. Banyak orang yang datang ke negeri ini, mereka ada yang datang dari Jawa, Sumatra Utara, malaka, bahkan pada tahun 1457 Kerajaan Patani menerima agama Islam hasil usaha ulama Pasai. Beberapa ulama besar dan terkenal di masa kerajaan Islam di Aceh telah melakukan perubahan besar, kemasyuran mereka ini hingga keluar negeri yang telah meramaikan literatur kajian Islam Asia Tenggara. di ataranya yaitu; pertama Hamzah Fansuri, Ulama ini cukup dikenal tidak hanya di dalam negeri tetapi juga termasyur sampai keluar negeri baik karena kunjungannya keluar negeri di masa hidupnya, maupun karena kitab-kitab peninggalannya yang cukup menarik untuk diteliti oleh sejumlah ilmuwan. A. Hasjmy menjelaskan bahwa Hamzah Fansuri pernah belajar di India, Persia dan Arab selain di Aceh. Tetapi dari aktivitas dakwahnya dia pernah keluar negeri, setidak-tidaknya untuk berdakwah, misalnya dia pernah mengembara sampai ke Johor, Malaka (sekarang Malaysia) dan Ayutia, ibukota dari Siam pada masa lalu (sekarang Thailand). Dari aktivitasnya diketahui dia menguasai beberapa bahasa asing misalnya bahasa Arab, bahasa Persi, selain bahasa Aceh dan bahasa Melayu. (Hasbi Amiruddhin, 2004 hal ). Kedua; Syamsuddin al-Sumatrani pernah belajar pada Hamzah Fansuri. Melihat dari aktivitasnya sehari-hari yang bertugas sebagai mufti dan juga penasehat dalam bidang perdagangan dan politik serta memperhatikan kitab-kitab karyanya, Syamsuddin al-Sumatrani menguasai ilmu-ilmu fiqh, tasawauf, sejarah, manthiq, tauhid, filsafat, bahasa Arab, ilmu politik dan ilmu perdagangan.
Dalam penelitian Al-Yasa’ Abubakar di perpustakaan Islam Seulimuem ditemukan sebanyak 20 buah buku yang ditulis Syamsuddin al-Sumatrani yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu. Sebagian besar dari buku tersebut membicarakan masalah ilmu kalam dan tasawuf. Tetapi dalam catatan A. Hasjmy ada 22 judul kitab yang ditulis oleh Syamsuddin al-Sumatrani. Ketika Iskandar Muda memerintah kerajaan Islam di Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih syekh Shamsuddin Al-Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti (disebut Syekh al-Islam) bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Meskipun demikian, al-Sumatrani tidak hanya sebagai penasehat agama, tetapi juga dilibatkan dalam urusan politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602), raja sebelum Iskandar Muda. James Lancaster, utusan khusus dari Inggris ke Aceh pada tahun 1602, menggambarkan dalam catatan perjalanannya bahwa ada seorang bangsawan “Chief Bishop”, yang diperkirakan orang tersebut adalah al-Sumatrani, yang terlibat dalam perundingan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh.
Ketiga; Seorang ulama terkenal lain di masa Kerajaan Islam Aceh adalah Syeikh Nur al-Din al-Raniri. Syeikh ini berasal dari Ranir India, tetapi ayahnya berasal dari Hadhralmawt dan ibunya seorang Melayu. Ar-Raniri pertama belajar di Ranir kemudian melanjutkan ke wilayah Hadhramawt. Dalam rentang waktu belajar ini tidak jelas berapa tahun dia belajar di sana. Di India, Ar-Raniri telah belajar pada Abu Hafs Umar bin Abdillah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhami. Menurut Ar-Raniri Ba Syaiban inilah yang telah mewariskan ilmu tariqat Rifa’iyah kepadanya. Ba Syaiban merupakan ulama terkenal di India yang memiliki berbagai ilmu ketika menuntut ilmu di Haramain.
Nuruddin ar-Raniri pernah bertugas sebagai mufti kerajaan Islam Aceh Darussalam di masa pemerintahan Iskandar Thani. Selain bekerja sebagai mufti, al-Raniri juga seorang penulis yang produktif. Menurut Ahmad Daudy, ada dua puluh buah kitab yang ditulis oleh Al-Raniri. Tetapi A. Hasjmy mencatat ada 30 buah buku yang ditulis oleh al-Raniri. Beberapa tahun berikutnya, yaitu pada masa Tajul alam Safi’atuddin. Al-Raniri digambarkan sebagai seorang yang hebat. Dia pada dasarnya seorang sufi, teolog dan faqih, tetapi dia juga pengarang, penasehat dan politikus. Pada masa Iskandar Tasni, ia memainkan peran penting dalam bidang ekonomi, politik disamping bertanggung jawab dalam urusan keagamaan.
Keempat; Syeikh Abd al-Rauf al-Singkili, ia lebih dikenal dengan nama julukan Teungku Syiah Kuala, lahir di Singkil diperkirakan sekitar tahun 1615 M. Seperti biasanya orang Islam diwaktu kecil mendapat pendidikan pertamanya dari orang tuanya sendiri, Al-Singkili juga demikian. Apalagi ayah Al-Singkili adalah seorang ulama yang memiliki lembaga pendidikan Dayah (pasantren). Al-Singkili setelah menyelesaikan pelajaran di Dayah yang dipinpin orang tuanya Al-Singkili melanjutkan pendidikannya pada sebuah Dayah tinggi di Barus yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri (A. Hasjmy,). Selanjutnya ia belajar pada Syeikh Syamsu al-Din al- Sumatrani yang diperkirakan Dayahnya itu di wilayah Pase Aceh Utara. Terakhir Al-Singkili Belajar di Timur Tengah, meliputi Dhuha (Doha) Qatar, Yaman, Jeddah dan Akhirnya Mekkah dan di Madinah selama 19 tahun. Menurut catatan Al-Singkili sendiri yang ditulis dalam Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufridin, ada 19 orang Guru yang dia kunjungi untuk belajar langsung dalam bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga dia mempunyai hubungan pribadi dengan sejumlah ulama lain yang sangat mungkin ini merupakan teman diskusi dalam ilmu-ilmu tertentu. Beberapa guru yang disebutkan Al-Singkili adalah Abd Al-Qadir Al-Mawrir ketika di Qatar. Di Yaman dia belajar pada Ibrahim bin ‘Abdullah bin Jaman dan Qadhi Ishaq. Guru-gurunya di Yaman nampaknya ahli dalam bidang Hadits dan Fiqh. Seperti dipetakan kebanyakan ulama Yaman adalah murid dari Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani, yang pada akhir Al-Singkili sendiri juga belajar pada Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani.
Al-Singkili merupakan seorang penulis yang produktif. Kendatipun dia sibuk dengan tugas mufti kerajaan tetapi dia sempat menulis beberapa kitab. Wan Mohd Saghir Abdullah sempat mengoleksi 23 kitab yang ditulis oleh Al-Singkili dalam bidang Fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan tasawuf. Tetapi terakhir menurut hasil penelitian Al-Yasa’ Abubakar ditemukan ada 36 buah kitab yang ditulis oleh Al-Singkili. Selain yang tersebut di atas, di perpustakaan Islam Seulimuem (Aceh Besar) ditemukan juga beberapa buku yang nama penulisnya adalah Abd al-Rauf, tetapi masih dipertanyakan apakah Abd al-Rauf itu maksudnya Abd al-Tauf Al-Singkili. Pada tahun 1844, Professor A. Meusinge pernah menerbitkan sebuah buku wajib tentang hukum Islam bagi mahasiswa Koninklijke Academie Delft, Leiden yang di dalam buku tersebut termasuk isi kitab Al-Singkili yang berjudul “Cermin Segala Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh Pada Memudahkan Syari’ah Allah”. Menurut Temuan terakhir ini ada 36 kitab yang ditulis oleh Al-Singkili. Dan masih banyak ulama-ulama besar yang lainya yang telah melakukan perubahan besar, khususnya dalam hal pengetahuan Islam baik itu yang berdampak di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan, dan baik untuk tingkat Asia Tenggara yang menjadikan Aceh sebagai ladang ilmu pengetahuan.

CERITA KERAJAAN DEMAK



KERAJAAN DEMAK

Awal Perkembangan Kerajaan Demak

Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah vasal atau bawahan dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja Majapahit yang terakhir.
Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit melemah, Raden Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478 M. Dengan dukungan dari para bupati, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak dengan gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat. Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa, seperti ke Palembang, Jambi, Banjar, dan Maluku.

Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan

Pada tahun 1507 M, Raja Demak pertama, Raden Patah mangkat dan digantikan oleh putranya Pati Unus. Pada masa pemerintahan Pati Unus, Demak dan Portugis bermusuhan, sehingga sepanjang pemerintahannya, Pati Unus hanya memperkuat pertahanan lautnya, dengan maksud agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Setelah mangkat pada tahun 1521, Pati unus digantikan oleh adiknya Trenggana. Setelah naik takhta, Sultan Trenggana melakukan usaha besar membendung masuknya portugis ke Jawa Barat dan memperluas kekuasaan Kerajaan Demak.

Beliau mengutus Faletehan beserta pasukannya untuk menduduki Jawa Barat. Dengan semangat juang yang tinggi, Faletehan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kelapa lalu menyusul Cirebon. Dengan demikian, seluruh pantai utara Jawa akhirnya tunduk kepada pemerintahan Demak. Faletehan kemudian diangkat menjadi raja di Cirebon. Pasukan demak terus bergerak ke daerah pedalaman dan berhasil menundukkan Pajang dan Mataram, serta Madura. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Trenggana melakukan perkawinan politik dengan Bupati Madura, yakni mengawinkan Putri Sultan Trenggana dengan Putra Bupati Madura, Jaka Tingkir. Sultan Trenggana mangkat pada tahun 1546 M.

Mangkatnya Beliau menimbulkan kekacauan politik yang hebat di Demak. Negara bagian banyak yang melepaskan diri, dan para ahli waris Demak juga saling berebut tahta sehingga timbul perang saudara dan muncullah kekuasaan baru, yakni Kerajaan Pajang.

Aspek Kehidupan Sosial dan Budaya

Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak telah berjalan teratur. Pemerintahan diatur dengan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Hasil kebudayaan Demak merupakan kebudayaan yang berkaitan dengan Islam. Seperti ukir-ukiran Islam dan berdirinya Masjid Agung Demak yang masih berdiri sampai sekarang. Masjid Agung tersebut merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam.

Aspek Kehidupan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Demak berperan penting karena mempunyai daerah pertanian yang cukup luas dan sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, perdagangannya juga maju. Komoditas yang diekspor, antara lain beras, madu, dan lilin.

Keruntuhan Kerajaan Demak

Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan karena pembalasan dendam yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang bekerja sama dengan Bupati Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Mereka berdua ingin menyingkirkan Aria Penansang sebagai pemimpin Kerajaan Demak karena Aria Penansang telah membunuh suami dan adik suami dari Ratu Kalinyamat. Dengan tipu daya yang tepat mereka berhasil meruntuhkan pemerintahan dari Bupati Jipang yang tidak lain adalah Aria Penansang. Aria Penansang sendiri berhasil dibunuh Sutawijaya. Sejak saat itu pemerintahan Demak pindah ke Pajang dan tamatlah riwayat Kerajaan Demak

CERITA LEGENDA KERAJAAN PANJANG

KERAJAAN PAJANG
infogendru.blogsport.com


Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Solo dan Desa Makam haji,Karatsura,Sukoharjo. Berikut ini Kumpulan Sejarah akan menyajikan informasi selengkapnya mengenai Sejarah Kerajaan Pajang

AWAL BERDIRI KERAJAAN PAJANG

Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.


Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dimana Pajang dilihat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina.

Ceritera mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.

Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.

RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN PAJANG

Jaka Tingkir

Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.

Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.

Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).

Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara  Pajang dan Mataram.

Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.

Arya Pangiri

Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.

Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.

Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).

Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.

Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

Pangeran Benawa

Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.

Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.

Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.

Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.

Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.

Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.

Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.

Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.

BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG

Aspek Sosial Budaya

Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi  lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.

Aspek Ekonomi

Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.

Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.

Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.

Aspek Politik

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. 
Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai  para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi  sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan,  tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang  menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang  berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,  Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi  Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.

KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG

Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.