KERAJAAN ACEH
Sistem
kepecayaan seperti ini sudah berlangsung cukup lama puluhan abad lamanya.
Seperti yang di kemukakan oleh seorang ilmuan Inggris dalam teorinya bahwa
“asul mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh
atau jiwa, kemudian mereka memahami adanya mimpi dan kematian.” (Edwar Burnet
Taylor, 1832-1917).
Kumpulan
masyarakat primitif Aceh dahulu kala sudah terbentuk dengan sendirinya secara
alami, namun pada saat itu mereka sudah mengenal konsep penyembahan. PenTuhanan
yang di lakukan oleh masyararakat Aceh zaman dulu kala masih sangat sederhana,
dimana bentuk Tuhannya itu masih beraneka ragam, belum sistematis dan masih
belum seragam. Dalam kondisi seperti itu mereka menemukan cara penyembahan dan
pengabdian yang di kembangkan berdasarkan tingkat kecerdasan masyarakatnya,
lalu kemudian mereka mewariskan system kepercayaan model sederhana tersebut
cukup lama dalam kurun waktu berabab-abad lamanya hingga kemudian model atau
system kepercayaan yang baru mereka kenal, yaitu pada tingkat yang lebih tinggi
lagi dari sebelumnya dan system kepercayaan yang baru ini lebih sistematis dan
sudah mulai manganutnya secara massal, dan Tuhannya mereka itu sudah memiliki
nama yang seragam, yaitu penerimaah agama Hindu dan sebagai kepercayaan yang baru.
Benteng
Indra Patra
Perkembangan
ketingkat ke berikutnya ke system kepercayaan baru Hindu ini, menunjukan bahwa
Aceh pada saat itu telah mengalami kontak budaya, baik yang terjadi antara
sesama masyarakat Nusantara ataupun hal itu juga datang langsung dari luar atau
bisa di katakan bahwa pengaruh perubahan itu datang langsung dari India.
Berdasarkan apa yang di kemukan oleh Joesoef Sou’yb (1983) bahwa Agama Brahma
atau Hindu itu lahir di negeri India 2000 tahun SM, dan agama ini telah berusia
lebih kurang 4000 tahun bersama manusia seluruh dunia. Dan penganut yang
terbesarnya berada di Asia Tengah dan Selatan. Sebagai perbandingan saja, bahwa
Agama Yahudi (musa) di kenal oleh manusia semenjak 1200 tahun SM. Jadi manusia
takala itu sudah di temani oleh agama Hindu terlebih dahulu, atau bisa di
katakan Agama Hindu ini adalah salah satu Agama tertua di dunia dalam kategori
agama berbentuk yang sistemastis.
Sebelum
masyarakat Aceh menganut Agama Brahma ini, di kepulau Nusantara ini adalah di
tanah Jawa Agama Hindu berkembang pesat hinga menciptakan kerajaan besar yang
kuat, seperti kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pejajaran di Jawa bagian Barat.
Dalam Agama Hindu, manusia di posisikan ke beberapa tingkat golongan atau
kasta-kasta di antaranya; pertama kasta Brahma, yaitu kaum agamawan
(pendeta-pendeta), kedua kasta Syatria yaitu kaum bangsawan atau para
raja-raja, ketiga kasta Waisya yaitu kasta kaum saudagar, keempat kasta Sudra
yaitu kasta orang kebanyakan pada umumnya (rakyat jelata), kelima kasta Paria
yaitu golongan yang di anggap rendah sekali atau sampah dan tidak ada harganya
sebagai manusia, dan biasanya kasta ini di tujukan untuk golongan dari bangsa
yang di taklukan oleh kekuasaan kerajaan Jawa terhadap beberapa daerah-daerah
di Nusantara, (penaklukan-ekspansi). Masyarakat Hindu di luar Jawa awalnya
mereka adalah manusia yang tidak berharga di mata penguasa Jawa karena mereka
adalah masyarakat taklukan Majapahit. Baru kemudian setelah sekian jangka waktu
yang cukup lama dari kasta yang hina ini naik ketingkat kasta atas.
Keuasaan
Hindu yang di bawah naungan kerajaan Raja Majapahit mulai menujukan kehebatanya
yang kuat itu, kekuatan itu menyatu bersatu dalam tiga komponen menjadi satu
kekuatan, diataranya “agama-bangsa Jawa-kerajaan” menjelma menjadi kekuatan
politik yang kokoh. Sehingga hampir seluruh wilaya kepulauan Nusantara di
kuasainya melalui cara ekspansi. Tak luput juga Aceh pada tahun 1350 pernah
ditaklukan dan di kuasainya, pada saat itu kerajaan Samudra Pasai (Aceh) di
gempur oleh kekuatan militer Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gajah
Mada, dan Majapahit menduduki Samudra Pasai selama 4 tahun.
Pengaruh
Hinduisme kedalam budaya Aceh memang sangat tranparan dan terasa kuat.
Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India (Cut Nyak Kusmiati 1981).
Menurut para kalangan ahli sejarah, kedatangan orang-orang India ke Aceh
diperkirakan pada awal abad Masehi. Sedangkan pendapat S.M.Amin yang menyatakan
bahwa pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India masuk
diperkirakan 2.500 SM. Dan saat itu orang-orang India telah banyak membuat
perkampungan di Aceh (S.M. Amin 1956). Orang Hindu datang dari Hindia menepati
sebelah barat laut pulau Sumatra, dan mereka tertarik dengan rempah-rempah yang
ada di Nusantara. Sambil berniaga orang Hindu itu, mengembangkan agama dan
kebudayaan mereka di bumi Nusantara, dan mereka bergaul serta kawin dengan
masyarakat setempat, sehingga pada abad ke 2 Masehi telah banyak orang Hindu
yang menetap di Nusantara. (Ismail Jakup).
Sekitar
tahun 500, di Aceh telah berdiri satu kerajaan yang dikenal sampai ke tingkat
internasional yang bernama Kerajaan Poli, kerajaan ini merupakan jelmaan dari
eksistensi kekuasaan hindu, dan mempunyai 136 perkampungan. Dalam tahun 518,
Kerajaan Poli ini, sudah mengirimkan utusannya ke Tiongkok yang waktu itu di
bawah kekuasaan Dinasti Liang. Kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli yang
wilayah kekuasaannya meliputi hingga ke Aceh Besar. Pengaruh Kerajaan Poli ini
masih bisa kita temukan dari nama-nama tempat di Aceh yang banyak sekali
memakai istilah Hindu, seperti Indrapuri, Indraputra, Gandapura, Kleng, Raja
Dagang, dan lain sebaginya. Selain Kerajaan Poli di Sigli (Aceh) ada beberapa
kerajaan lagi yang menganut agama Hindu, diantaranya kerajaan Hindu Indrapura,
Kerajaan Ta Shi atau Tajik, dan kemudiannya Kerajaan Tajik ini bersatu dengan
Kerajaan Peureulak dengan memakai nama Ta Jihan.
Peradaban
Hindu di Aceh menurut Junus Djamil dalam bukunya, menjelaskan bahwa telah
berdiri sebuah kerajaan di Peureulak sebelum kedatangan kebudayaan Islam,
Peureulak telah lama berdiri dan raja-raja yang memerintah negeri itu berasal
dari turunan raja-raja Negeri Siam (Syahir Nuwi). Kerajaan Peureulak yang
terletak di Aceh Timur (sekarang) semula berada dibawah kendali Kerajaan
Sriwijaya (Palembang). Di mana setelah kondisi politik dan pertahanan dalam
negeri Sriwijaya melemah akibat serangan dari Kerajaan Choli (India) dan juga
Kerajaan Majapahit (Jawa), maka Kerajaan Peureulak melepaskan diri dari
kungkungan Kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi kerajaan yang berdaulat
penuh.
Kerajaan
Peureulak, jauh sebelum kedatangan Islam telah menjadi pusat perdagangan
internasional dengan pedagang-pedagang dari kerajaan-kerajaan lain di dunia. Mereka
datang dari berbagai penjuru Negeri, seperti dari Arab, India, Cina, Jawa,
Malaka, Persia dan sebagainya. Komoditas perdagangan yang ramai
diperjualbelikan pada saat itu adalah kayu manis, cengkeh, lada, pala, bunga
pala, kayu gaharu, pakaian India, dan porselein Cina. Kayu manis diimpor dari
Ceylon dan Jawa, rempah-rempah diimpor dari Malaka, dan kayu gaharu diimpor
dari Timor. Sedangkan Kerajaan Peureulak sendiri adalah penghasil komoditi lada
sebagai andalannya. Hingga tidak heran kita bisa menemukan dalam pepatah Aceh
hingga sekrang meyebutkan ’’watee katrok kapai barou pula lada,‘’ (ketika kapal
muatan barang datang pada saat itu pula baru lada di tanam) zaman dahulukala
pribahasa ini di ungkapkan untuk mereka yang tidak siap akan situasi
perkembangan bisnis karena mereka lalai kemudian rejekipun tidak didapatkan.
Karena
jarak tempuh yang begitu lama dan jauh sampai berbulan-bulan dari negeri-negeri
belahan dunia lain untuk singgah ke Aceh, dan sebaliknya dari Aceh ke negeri
Asal para Saudagar-saudagar ini. Apalagi kodisi untuk berlayar kapal memerlukan
ketepatan angin yang pas, hal ini sering menjadi alasan kenapa para Saudagar
ini memilih untuk membuka kantor perwakilan di daerah Aceh sebagai
persinggahan. Terkadang banyak di antara mereka tidak mau pulang ke negeri
asalnya, dan lebih memilih menjadi agen-agen dangang untuk barang dari asal
mereka dan merekapun tinggal menetap di Aceh serta berasimilasi dengan penduduk
pribumi, (perkawinan silang). Kemudian kondisi seperti ini bagi
saudagar-saudagar Arab mengunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan dan
menyebarluaskan agama Islam, hingga kumudian Agama Islam bisa mengalahkan
dominasi Agama Hindu di Aceh dan akhirnya berdirilah kesultanan Islam di
Peureulak.
Di Bandar Peureulak mereka itu (orang Arab) pulang
kembali ke negerinya, dan tidak lama kemudian datang saudagar-saudagar Persi
(Isfhan) dan Muslim India dari Malabari dan dari Gujarat. Sejak dari masa
itulah mereka terus datang ke Bandar Peureulak hingga banyak orang Peureulak
masuk Islam. Beberapa lama kemudian daripada itu Meurah (raja) Peureulak dengan
seluruh keluarga istana akhirnya masuk agama Islam juga. Yang sebelumnya
kerajaan Peureulak adalah kerajaan Hindu yang berdasarkan pemberian gelar
meurah pada para penguasa kerajaan, kemudian berubah menjadi kerajaan Islam.
Setelah menjadi kerajaan Islam banyak orang-orang Arab Parsi dan Muslim India
dari Malabari dan Gujarat bermukim di Bandar Peureulak.
Dalam proses Islamisasi rakyat Peureulak Aceh, terjadi
pada tahun 820 M. dan pada tahun 840 M berdirilah kesultanan Islam Peureulak
dengan diangkatnya Sultan Maulana Syaid Abdul Aziz sebagai pemimpinnya. Pada
tahun 1042 berdirilah kerajaan Islam di Pasai. Pada saat itu (1042 M) kerjaan
Samudra kedatangan seorang pembaharu Islam, ia benama Meurah Khair, sang
pembaharu ini datang ke negeri Tanoh Data (sekarang sekitar Cot Girek) untuk
memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke pada raja Samudra. Meurah Khair
adalah berasal dari keluarga Sultan Mahmud Pereulak. Ia datang ke Negeri Tanoh
Data tidak hanya untuk mengembangkan Islam, akan tetapi ia juga mempunyai
target untuk membangun kerajaan Islam Samudra Pasai. Tujuan ini kemudian
tercapai dan ia menjadi raja yang pertama, dengan gelar Maharaja Mahdud Syah.
Selain gelar ini yang ia sandang, ia juga memiliki nama lokal yaitu Meurah
Giri. Periode kekuasaanya adalah 1042-1078 M.
Sultan Ali Mughayat Syah.
Pada tahun 1507 berdirilah kerajaan Aceh Darussalam yang
di pimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Pada tahun 1511 M adalah tahun dimana
kerjaan-kerajaan Islam yang berada di Aceh terintegrasi ke dalam Kekerajaan
Aceh Darussalam. Deklarasi itegrasi ini terjadi pada tanggal 20 februari 1511
M, dan menjadi Kerajaan Aceh Raya Darussalam. Dialah Sultan Ali Mughayat Syah
sebagai sultan yang pertama yang memimpin Kerajaan Aceh Raya Darussalam selama
1511-1530 M. Kerajaan Aceh Raya Darussalam dalam proses perjalan waktu telah
dipimpin oleh para Sultan-sultan sebanyak 28 orang, mulai dari tahun 1511
sampai dengan 1937 M. dan sultan yang terakhir yang berkuasa adalah di Kerajaan
Aceh Raya Darussalam adalah Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1874-1937 M).
Hal lain yang sangat penting juga adalah peran Ulama
sebagai kunci Islam bisa meluas keseluruh Aceh, bahkan dari Pasai-lah Islam di
kaji oleh banyak kalangan kemudian Islam dari Pasai Menyebar kawasan Asia
Tenggara. Sehingga tidak heran bahwa pada masa era emasnya itu Kerajaan Samudra
Pasai telah di jadikan mercusuar ilmu pengetahuan. Banyak orang yang datang ke
negeri ini, mereka ada yang datang dari Jawa, Sumatra Utara, malaka, bahkan
pada tahun 1457 Kerajaan Patani menerima agama Islam hasil usaha ulama Pasai.
Beberapa ulama besar dan terkenal di masa kerajaan Islam di Aceh telah
melakukan perubahan besar, kemasyuran mereka ini hingga keluar negeri yang
telah meramaikan literatur kajian Islam Asia Tenggara. di ataranya yaitu;
pertama Hamzah Fansuri, Ulama ini cukup dikenal tidak hanya di dalam negeri
tetapi juga termasyur sampai keluar negeri baik karena kunjungannya keluar
negeri di masa hidupnya, maupun karena kitab-kitab peninggalannya yang cukup
menarik untuk diteliti oleh sejumlah ilmuwan. A. Hasjmy menjelaskan bahwa
Hamzah Fansuri pernah belajar di India, Persia dan Arab selain di Aceh. Tetapi
dari aktivitas dakwahnya dia pernah keluar negeri, setidak-tidaknya untuk
berdakwah, misalnya dia pernah mengembara sampai ke Johor, Malaka (sekarang
Malaysia) dan Ayutia, ibukota dari Siam pada masa lalu (sekarang Thailand).
Dari aktivitasnya diketahui dia menguasai beberapa bahasa asing misalnya bahasa
Arab, bahasa Persi, selain bahasa Aceh dan bahasa Melayu. (Hasbi Amiruddhin,
2004 hal ). Kedua; Syamsuddin al-Sumatrani pernah belajar pada Hamzah Fansuri.
Melihat dari aktivitasnya sehari-hari yang bertugas sebagai mufti dan juga
penasehat dalam bidang perdagangan dan politik serta memperhatikan kitab-kitab
karyanya, Syamsuddin al-Sumatrani menguasai ilmu-ilmu fiqh, tasawauf, sejarah,
manthiq, tauhid, filsafat, bahasa Arab, ilmu politik dan ilmu perdagangan.
Dalam penelitian Al-Yasa’ Abubakar di perpustakaan Islam
Seulimuem ditemukan sebanyak 20 buah buku yang ditulis Syamsuddin al-Sumatrani
yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu. Sebagian besar dari buku
tersebut membicarakan masalah ilmu kalam dan tasawuf. Tetapi dalam catatan A.
Hasjmy ada 22 judul kitab yang ditulis oleh Syamsuddin al-Sumatrani. Ketika
Iskandar Muda memerintah kerajaan Islam di Aceh Darussalam (1607-1636), dia
memilih syekh Shamsuddin Al-Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti
(disebut Syekh al-Islam) bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Meskipun
demikian, al-Sumatrani tidak hanya sebagai penasehat agama, tetapi juga
dilibatkan dalam urusan politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada Sultan
Ali Mughayat Syah (1589-1602), raja sebelum Iskandar Muda. James Lancaster,
utusan khusus dari Inggris ke Aceh pada tahun 1602, menggambarkan dalam catatan
perjalanannya bahwa ada seorang bangsawan “Chief Bishop”, yang diperkirakan
orang tersebut adalah al-Sumatrani, yang terlibat dalam perundingan perjanjian
perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh.
Ketiga; Seorang ulama terkenal lain di masa Kerajaan
Islam Aceh adalah Syeikh Nur al-Din al-Raniri. Syeikh ini berasal dari Ranir
India, tetapi ayahnya berasal dari Hadhralmawt dan ibunya seorang Melayu.
Ar-Raniri pertama belajar di Ranir kemudian melanjutkan ke wilayah Hadhramawt. Dalam rentang waktu belajar ini
tidak jelas berapa tahun dia belajar di sana. Di India, Ar-Raniri telah belajar
pada Abu Hafs Umar bin Abdillah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhami. Menurut
Ar-Raniri Ba Syaiban inilah yang telah mewariskan ilmu tariqat Rifa’iyah
kepadanya. Ba Syaiban merupakan ulama terkenal di India yang memiliki berbagai
ilmu ketika menuntut ilmu di Haramain.
Nuruddin
ar-Raniri pernah bertugas sebagai mufti kerajaan Islam Aceh Darussalam di masa
pemerintahan Iskandar Thani. Selain bekerja sebagai mufti, al-Raniri juga
seorang penulis yang produktif. Menurut Ahmad Daudy, ada dua puluh buah kitab
yang ditulis oleh Al-Raniri. Tetapi A. Hasjmy mencatat ada 30 buah buku yang
ditulis oleh al-Raniri. Beberapa tahun berikutnya, yaitu pada masa Tajul alam
Safi’atuddin. Al-Raniri digambarkan sebagai seorang yang hebat. Dia pada
dasarnya seorang sufi, teolog dan faqih, tetapi dia juga pengarang, penasehat
dan politikus. Pada masa Iskandar Tasni, ia memainkan peran penting dalam bidang
ekonomi, politik disamping bertanggung jawab dalam urusan keagamaan.
Keempat;
Syeikh Abd al-Rauf al-Singkili, ia lebih dikenal dengan nama julukan Teungku
Syiah Kuala, lahir di Singkil diperkirakan sekitar tahun 1615 M. Seperti
biasanya orang Islam diwaktu kecil mendapat pendidikan pertamanya dari orang
tuanya sendiri, Al-Singkili juga demikian. Apalagi ayah Al-Singkili adalah
seorang ulama yang memiliki lembaga pendidikan Dayah (pasantren). Al-Singkili
setelah menyelesaikan pelajaran di Dayah yang dipinpin orang tuanya Al-Singkili
melanjutkan pendidikannya pada sebuah Dayah tinggi di Barus yang dipimpin oleh
Hamzah Fansuri (A. Hasjmy,). Selanjutnya ia belajar pada Syeikh Syamsu al-Din
al- Sumatrani yang diperkirakan Dayahnya itu di wilayah Pase Aceh Utara.
Terakhir Al-Singkili Belajar di Timur Tengah, meliputi Dhuha (Doha) Qatar,
Yaman, Jeddah dan Akhirnya Mekkah dan di Madinah selama 19 tahun. Menurut
catatan Al-Singkili sendiri yang ditulis dalam Umdat Al-Muhtajin ila Suluk
Maslak Al-Mufridin, ada 19 orang Guru yang dia kunjungi untuk belajar langsung
dalam bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga dia mempunyai hubungan pribadi
dengan sejumlah ulama lain yang sangat mungkin ini merupakan teman diskusi
dalam ilmu-ilmu tertentu. Beberapa guru yang disebutkan Al-Singkili adalah Abd
Al-Qadir Al-Mawrir ketika di Qatar. Di Yaman dia belajar pada Ibrahim bin
‘Abdullah bin Jaman dan Qadhi Ishaq. Guru-gurunya di Yaman nampaknya ahli dalam
bidang Hadits dan Fiqh. Seperti dipetakan kebanyakan ulama Yaman adalah murid
dari Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani, yang pada akhir Al-Singkili sendiri
juga belajar pada Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani.
Al-Singkili
merupakan seorang penulis yang produktif. Kendatipun dia sibuk dengan tugas
mufti kerajaan tetapi dia sempat menulis beberapa kitab. Wan Mohd Saghir
Abdullah sempat mengoleksi 23 kitab yang ditulis oleh Al-Singkili dalam bidang
Fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan tasawuf. Tetapi terakhir menurut hasil
penelitian Al-Yasa’ Abubakar ditemukan ada 36 buah kitab yang ditulis oleh
Al-Singkili. Selain yang tersebut di atas, di perpustakaan Islam Seulimuem
(Aceh Besar) ditemukan juga beberapa buku yang nama penulisnya adalah Abd
al-Rauf, tetapi masih dipertanyakan apakah Abd al-Rauf itu maksudnya Abd
al-Tauf Al-Singkili. Pada tahun 1844, Professor A. Meusinge pernah menerbitkan
sebuah buku wajib tentang hukum Islam bagi mahasiswa Koninklijke Academie
Delft, Leiden yang di dalam buku tersebut termasuk isi kitab Al-Singkili yang
berjudul “Cermin Segala Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh Pada Memudahkan Syari’ah
Allah”. Menurut Temuan terakhir ini ada 36 kitab yang ditulis oleh Al-Singkili.
Dan masih banyak ulama-ulama besar yang lainya yang telah melakukan perubahan
besar, khususnya dalam hal pengetahuan Islam baik itu yang berdampak di Aceh
dan Indonesia secara keseluruhan, dan baik untuk tingkat Asia Tenggara yang
menjadikan Aceh sebagai ladang ilmu pengetahuan.
No comments:
Post a Comment