1.perang tondano
Sejarah Lengkap Perang Tondano “Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang
yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial
Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi
akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para
pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi
tentara “ (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:3
Perang Tondano I
Sekalipun hanya berlangsung sekitar
satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi
pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol
sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di
samping berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam
penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan
dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII
hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang
VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan
Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk
membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan
kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang
Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC.
Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju
Filipina
.
Perang Tondano II
Perang Tondano II sudah terjadi
ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels
yang mendapat mandate untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah
besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan
pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki
keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah
orangorang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten
Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung. (Ukung adalah
pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari
Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang
akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan
program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan
kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru
ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan
aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin
perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan
colonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda
Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat
menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
2. pattimura angkat senjata
Pada tahun 1605 Belanda mulai
memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik
monopoli dengan sistem pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada
tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan
Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena
kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali
datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk
mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah
besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang
pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.
Dengan gugurnya Kakiali, untuk
sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah
itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan
Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun
1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke
daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak,
kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di
bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di
Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka
patahlah perlawanan rakyat Maluku.
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada
lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan
rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap
dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah
perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore.
Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi
setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah
Tidore.
Perlawanan Pattimura (1817). Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota
kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-sebab terjadinya perlawanan terhadap Belanda
adalah :
- Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita dibawah VOC
- Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
- Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat penderitaan yang panjang
rakyat menetang Belanda dibawah pimpinan Thomas Matulesi atau Pattimura. Tanggal
15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak dengan membakar perahu-perahu milik
Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat menyerang penjara Duurstede.
Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai oleh rakyat
Maluku.
3. PERANG PADRI
Sejarah Perang Paderi (Padri 1821-1837)|Perang
Paderi atau Padri memiliki penyebab/Latar belakang terjadinya Perang
padri, Perang Padri merupakan perang yang Panjang dari tahun 1821-1837
sekitar 26 tahun lamanya berlangsungnya Perang Padri, Dalam Peperangan tersebut
memiliki berbagai Perjanjian-perjanjian, dan Perang Padri berasal dari
Perjuangan rakyat di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), Nama Perang Padri
diambil dari Kota yang ada di Sumatera barat dan berbagai bahasa-bahasa Asing
sehingga terbentuk nama Perang Paderi (Padri), Dalam Peperangan ini memiliki
tahap-tahap yang membuat Perang Padri sangat panjang, Dalam Perang Padri
terkenal seorang nama yang sangat terkenal karena keberaniannya menegakkan
kebenaran dan meluruskan ke jalan agama yang merupakan seorang tokoh yang
sangat penting dalam peperangan tersebut. Untuk Mengetahu lebih jelas Sejarah
Perang Paderi (Paderi) dan berbagai macam yang menyangkut Perang Padri , Mari
kita lihat pembahasannya dibawah ini
Latar Belakang Terjadinya Perang
Padri
Di daerah Minangkabau terdapat
beberapa orang Haji yang kembali dari Mekah dan akan mengadakan pelaksanaan
hidup yang sesuai menurut ajaran agama slam secara murni. Mereka yang baru
pulang dari naik haji itu ialah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang,
mereka beraliran Wahabi Menurut ajaran agama banyak adat istiadat daerah
Sumatera Barat (Minangkabau) yang harus ditinggalkan seperti: minum-minuman
keras,.(minum tuak), menyambung ayam, berjudi, dan lain -lain.
Di dalam peperangan itu pada awalnya
kaum Padri mendapat kemenangan dimana-mana, sehingga kedudukan kau adat
terdesak dengan hebat. Karena adat-adat terdesak dengan hebat maka
pimpinan-pimpinan kaum adat yaitu Tuanku Suroso memerintahkan meminta
batuan kepada pihak Belanda di Padang. Permintaan ini sangat menyewakan pihak
Belanda, sebab dengan demikian Belanda dapat meluaskan kekuasaannya ke daerah
minangkabau.
4.PERANG DIPONEGORO
Pada saat sebelum Perang Diponegoro meletus, terjadi
kekalutan di Istana Yogyakarta. Ketegangan mulai timbul ketika Sultan Hamengku Buwono II memecat dan menggeser pegawai
istana dan bupati-bupati yang dahulu dipilih oleh Sultan Hamengku Buwono I.
Kekacauan dalam istana semakin besar ketika mulai ada campur tangan Belanda. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda menimbulkan kebencian rakyat. Kondisi ini memuncak menjadi perlawanan menentang Belanda.
Berikut ini sebab-sebab umum perlawanan Diponegoro.
1. Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, wilayahnya dipecahpecah.
2. Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.
3. Kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dilarang menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.
4. Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.
5. Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai macam pajak, seperti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah.
Hal yang menjadi sebab utama perlawanan Pangeran Diponegoro adalah adanya rencana pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan Yogyakarta. Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan strategi penyerangan secara gerilya. Agar tidak mudah diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih. Perang Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal. Siasat Benteng stelsel (sistem Benteng) yang banyak menguras biaya diterapkan juga. Namun sistem benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro.
Jenderal De Kock akhirnya menggunakan siasat tipu muslihat melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang. Dalam perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Manado. Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke Makassar sampai meninggal dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855.
Kekacauan dalam istana semakin besar ketika mulai ada campur tangan Belanda. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda menimbulkan kebencian rakyat. Kondisi ini memuncak menjadi perlawanan menentang Belanda.
Berikut ini sebab-sebab umum perlawanan Diponegoro.
1. Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, wilayahnya dipecahpecah.
2. Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.
3. Kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dilarang menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.
4. Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.
5. Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai macam pajak, seperti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah.
Hal yang menjadi sebab utama perlawanan Pangeran Diponegoro adalah adanya rencana pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan Yogyakarta. Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan strategi penyerangan secara gerilya. Agar tidak mudah diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih. Perang Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal. Siasat Benteng stelsel (sistem Benteng) yang banyak menguras biaya diterapkan juga. Namun sistem benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro.
Jenderal De Kock akhirnya menggunakan siasat tipu muslihat melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang. Dalam perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Manado. Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke Makassar sampai meninggal dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855.
5.PERLAWANAN DI BALI
Sejarah
Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905) - Di Bali
timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali
memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karang. Hak tawan karang
yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di
pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang bersangkutan.
Telah
berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan
mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak
berunding ialah Raja Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja
Karangasem (1843). Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda
memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam
menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda
terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali.
Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal dalam
usaha menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang
lebih besar dari yang pertama dan disambut dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut
Jelantik, yang telah mempersiapkan pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga
dikenal dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun juga
berhasil digagalkan.
Sejarah
Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905) - Di Bali
timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali
memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karang. Hak tawan karang
yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di
pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang bersangkutan.
Telah
berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan
mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak
berunding ialah Raja Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja
Karangasem (1843). Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda
memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
6.PERANG BANJAR
Perang Banjar adalah merupakan satu cetusan di dalam
rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia.
Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan utamanya
pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir bersamaan kasusnya
di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di Minangkabau dengan perang
Padrinya, di Jawa dengan perang Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan
sebagainya. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak
kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia dengan berbagai dalih
yang dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya.
Pertentangan pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.
Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan. Kekejaman ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis, Belanda dan Inggris.
Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin.
Pertentangan pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.
Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan. Kekejaman ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis, Belanda dan Inggris.
Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin.
Pangeran Nata Dilaga yang Menjadi raja pertama
dinasti Tamjidillah dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya
Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772.
7. ACEH BERJIHAD
Perang Aceh ialah perang Kesultanan
Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah
pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, & mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat
di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, &
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.
198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Penyebab
Terjadinya Perang Aceh
Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak.
Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah
Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu
sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak,
maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah
Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan
kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya
mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tak menepati
janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan
oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dibukanya Terusan Suez oleh
Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk
lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian London
1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan
kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan
lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di
Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871,
Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan
Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki
Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh
dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu
sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik
Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta
keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
8. PERANG BATAK
Sejarah Perang Batak Kita semua juga sudah sangat familier mendengar kata Batak.
Batak merupakan nama kawasan dan sekaligus nama suku, Suku Batak. Ada beberapa
kelompok Batak misalnya ada Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak
Mandailing, dan Batak Pakpak. Sekarang masyarakat Batak tersebar di berbagai
daerah di Indonesia. Mereka banyak yang bergerak dan berperan di bidang hukum.
Secara historis-sosiologis
masyarakat Batak menarik untuk dikaji. Secara sosiologis kita mengenal
bagaimana struktur masyarakat Batak itu. Basis masyarakat Batak sebenarnya
berada di daerah-daerah kompleks perkampungan yang disebut dengan huta. Huta
adalah bentuk kesatuan ikatan-ikatan kampung yang dalam berbagai aspek
kehidupan berdiri sendiri-sendiri. Setiap kesatuan huta didiami oleh satu
ikatan kekerabatan yang disebut marga. Dalam strukturnya, di atas huta atau
gabungan dari beberapa huta terbentuk horja dan gabungan dari beberapa horja
terbentuk bius. Kesatuan dari beberapa bius itu terbentuklah satu wilayah
kerajaan, kerajaan masyarakat Batak yang dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja.
Pusat pemerintahannya di Bakkara. Sejak tahun 1870 yang menjadi raja adalah
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar Si Singamangaraja XII. Pada tahun
1878 Raja Si Singamangaraja XII angkat senjata memimpin rakyat Batak untuk
melawan Belanda.
Belanda terus meluaskan daerah
pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Angkola,
Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman
serius bagi kekuasaan Raja Batak, Si Singamangaraja XII. Masuknya dominasi
Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan penyebaran agama Kristen. Penyebaran
agama Kristen ini ditentang oleh Si Singamangaraja XII, karena dikhawatirkan
perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan
bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi
proses Kristenisasi ini, pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII berkampanye
keliling ke daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para
zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk
Alasan untuk melindungi para Zending
tentu alasan yang dibuat-buat Belanda. Karena yang jelas Belanda menduduki
Silindung sebagai langkah awal untuk memasuki tanah Batak yang merupakan
wilayah kekuasaan Raja Si Singamangaraja XII. Belanda ingin menguasai seluruh
tanah Batak. Mula pertama pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten
menuju Bahal Batu. Rakyat Batak di bawah pimpinan langsung Raja Si
Singamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di
Bahal Batu. Dalam menghadapi perang melawan Belanda ini rakyat Batak sudah
menyiapkan benteng pertahanan seperti benteng alam
No comments:
Post a Comment