LEGENDA
GUNUNG BROMO
Konon saat dewa-dewa masih suka turun ke bumi,
kerajaan Majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah. Penduduk bingung
mencari tempat pengungsian, demikian juga dengan dewa-dewa. Pada saat itulah
dewa mulai pergi menuju ke sebuah tempat, disekitar Gunung Bromo.
Gunung Bromo masih
tenang, tegak diselimuti kabut putih. Dewa-dewa yang mendatangi tempat di
sekitar Gunung Bromo, bersemayam di lereng Gunung Pananjakan. Di tempat itulah
dapat terlihat matahari terbit dari Timur dan terbenam di sebelah Barat.
Di
sekitar Gunung
Pananjakan, tempat dewa-dewa bersemayam, terdapat pula tempat
pertapa. Pertapa tersebut kerjanya tiap hari hanyalah memuja dan
mengheningkan cipta. Suatu ketika hari yang berbahagia, istri itu melahirkan
seorang anak laki-laki. Wajahnya tampan, cahayanya terang, dan merupakan anak
yang lahir dari titisan jiwa yang suci. Sejak dilahirkan, anak tersebut
menampakkan kesehatan dan kekuatan yang luar biasa. Saat ia lahir, anak pertapa
tersebut sudah dapat berteriak. Genggaman tangannya sangat erat, tendangan
kakinya pun kuat dan tidak seperti anak-anak lain. Bayi tersebut dinamai Joko
Seger, yang artinya Joko yang sehat dan kuat.
Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu
itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik
dan elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu. Ketika
dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu
pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari
rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai Rara Anteng.
Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh
menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah
Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun
pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko
Seger.
Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang
bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara
Anteng yang terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada
pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah
gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan
memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu
malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari
terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.
Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan
dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir selesai.
Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara
menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Rara Anteng
merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai.
Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk
menggagalkan pekerjaan Bajak itu.
Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam.
Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang
tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi
penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.
Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang
putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya.
Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai
sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di
samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung
Batok.
Dengan kegagalan Bajak membuat lautan di
tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan
hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari Rara Anteng dan Joko
Seger sebagai pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling
mengasihi.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun
pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa
Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger
diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger
berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol
perdamaian abadi.
Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup
makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah
beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga
dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo
untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai
keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa
semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan
keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan
Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang
putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan
putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji,
Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian
terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan
api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan
terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah
suara gaib :”Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang
tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan
tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada
pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo.
Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap
tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
No comments:
Post a Comment